KONFLIK BATAS WILAYAH ANTARA KABUPATEN MANGGARAI TIMUR DENGAN
KABUPATEN NGADA DAN UPAYA PENYELESAIANNYA
PROPOSAL TESIS
Program
Pascasarjana
Program Studi: Magister Ilmu Hukum
Konsentrasi: Hukum Tata Negara
Program Studi: Magister Ilmu Hukum
Konsentrasi: Hukum Tata Negara
Diajukan Oleh:
KORNELIS WIRIYAWAN GATU
10.74.3022
KORNELIS WIRIYAWAN GATU
10.74.3022
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
2012
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI
DAFTAR
GAMBAR
DAFTAR
TABEL
DAFTAR
LAMPIRAN
BAB I:
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah........................................................................ 1
B.
Identifikasi
dan Rumusan Masalah....................................................... 6
C.
Tujuan
Penelitian................................................................................... 7
D.
Manfaat
Penelitian................................................................................ 7
BAB II:
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Landasan
Teori ..................................................................................... 9
B.
Pembahasan
Penelitian
..................................................................... 23
C.
Kerangka
Konseptual ......................................................................... 27
BAB III:
METODE PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian Hukum....................................................................... 38
B.
Pendekatan
Penelitian......................................................................... 38
C.
Jenis Dan
Sumber Data....................................................................... 38
D.
Metode
Penelusuran Data................................................................... 39
E.
Spesifikasi
Penelitian........................................................................... 40
F.
Metode
Penentuan Sample.................................................................. 41
G.
Teknik
Analisis Data........................................................................... 41
H.
Jadwal
Penelitian................................................................................. 42
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bergulirnya
reformasi pada tahun 1998 membawa perubahan yang sangat luar biasa dalam
kehidupan berbangsa dan bemegara di Indonesia. Hal ini dibarengi dengan
perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan hukum dan perundang-undangan yang
merupakan landasan dalam berbangsa dan bernegara.
Sejak
bergulirnya reformasi, masalah otonomi sering menjadi bahan pembicaraan banyak
kalangan, baik kalangan politisi, birokrasi, akademisi dan bahkan masyarakat
awam, terlebih kaitannya dengan kepentingan daerah di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Otonomi
daerah telah menjadi pembahasan yang tidak ada henti-hentinya sejak Indonesia
merdeka. Sebelum merdeka Indonesia telah ada peraturan yang mengatur tentang
pemerintahan di daerah yaitu Inlandsche
Gemeente Ordonnantie (I.G.0) yang berlaku untuk Jawa dan Madura kecuali
daerah-daerah Swapraja Surakarta dan Yogyakarta, dan inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (I.G.O.B) yang
berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura.
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintah daerah setelah Indonesia
merdeka sudah banyak yang diundangkan akan tetapi banyak yang relatif singkat
pemberlakuannya. Beberapa Undang-undang yang pernah berlaku menggambarkan
betapa dinamisnya perumusan kebijakan pemerintah daerah atau desentralisasi di
Indonesia. Otonomi daerah setelah lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
yang diharapkan sebagai implementasi prinsip-prinsip demokrasi dan lebih dari
itu sebagai implementasi kedaulatan rakyat, namun justru empiriknya nampak
dengan jelas bahwa hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengarah
ke sentralistik.
Tap MPR
Nomor IV/MPR/1999 mengamanatkan bahwa perlu segera mewujudkan otonomi daerah
dalam rangka pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pewujudan otonomi daerah diharapkan akan dapat
menjamin terselenggaranya pembangunan dan pertumbuhan yang merata di seluruh
wilayah Indonesia dari perkotaan hingga ke pelosok pedesaan yang akhimya dapat
menjamin keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini
diharapkan juga daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan aspirasi masyarakat di daerah.
Secara
prinsip tujuan utama otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan pemerintah
kepada masyarakat yang dilayaninya, sehingga pelayanan kepada masyarakat lebih
terkontrol dan pengawasan masyarakat kepada pemerintah menjadi lebih kuat dan
nyata, sedangkan substansi pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya pemberdayaan
masyarakat seperti menumbuh-kembangkan prakarsa dan kreativitas dan peningkatan
peran serta masyarakat secara aktif di segala bidang dan aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sejak
berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, maka mencairlah sentralisme kekuasaan yang selama ini berkembang pada
masa orde baru. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Gerakan
reformasi membawa perubahan lahirnya kembali semangat otonomi daerah, sehingga Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 mendapat sambutan hangat oleh masyarakat di daerah. Pelaksanaan
otonomi daerah dirasakan betul oleh daerah dibanding dengan sebelum lahirnya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, hal ini dapat dibuktikan bahwa banyak urusan pusat yang telah
diserahkan kepada daerah sehingga daerah dapat leluasa untuk mengelola sumber
daya daerah secara maksimal[1].
Dalam perjalanannya Undangundang ini banyak kelemahan terbukti bahwa banyak konflik horizontal' yang timbul baik
persoalan pengelolaan sumber daya alam sampai pada persoalan batas wilayah baik
antar Kabupaten / kota
maupun antar provinsi.
Perkembangan
selanjutnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang digantikan dari Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 diharapkan oleh banyak kalangan dapat menjawab persoalan - persoalan yang ternyata belum mampu terjawab oleh
Undang-undang tersebut.
Peletakan
otonomi di Kabupaten dan kota serta mencermati keadaan Kabupaten yang telah
berkembang dengan pesat, tampak bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Kabupaten cukup berat dan kompleks karena beban tugas yang
bertambah luas dan volume kerja semakin berat, sehingga sulit bagi kepala
daerah untuk mengawasi dan membina secara optimal.
Pembentukan
atau pemekaran daerah dirasakan sebagai suatu kebutuhan saat
itu, untuk mewujudkan upaya peningkatan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan serta untuk
lebih mempercepat terwujudnya pemerataan kesejahteraan masyarakat. Disamping
itu untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan penciptaan rentang
kendali pengawasan lebih efektif.
Dasar
pemikiran di atas sebagai awal lahimya gagasan untuk melakukan pemekaran
wilayah Kabupaten ataupun kota di daerah-daerah.
Pembentukan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
ditetapkan dengan undang-undang 32 Tahun 2004, memberi peluang bagi daerah untuk membentuk atau memekarkan
daerah sehingga lahirlah daerah-daerah pemekaran baru yang syarat dengan
persoalan-persoalan baru mulai dan masalah budaya, ekonomi, politik, agama dan
bahkan konflik batas wilayah.
Daerah-daerah
yang baru dibentuk atau dimekarkan sering kali menimbulkan mobilisasi konflik batas wilayah dengan berbagai argumen dan alasan sehingga cenderung memperkeruh persoalan. Hal
ini dapat dibuktikan bahwa dalam pembentukan daerah otonom baru yang disertai
konflik batas wilayah, seperti yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara Kabupaten
Serdang Bedagai dengan Deli Serdang, Sumatera Utara, hingga kini belum tuntas.
Sebanyak 18 desa di Kecamatan Galang dan Kecamatan Bangun Purba, yang menurut
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 masuk wilayah Serdang Bedagai, menginginkan
tetap bergabung dengan Deli Serdang[2].
Persoalan lain yang tak kalah menarik adalah konflik batas wilayah Kabupaten Manggarai
Timur (daerah pemekaran) dengan Kabupaten Ngada (Kabupaten tetangga), Provinsi NTT,
dimana Pemerintah Kabupaten Ngada menginginkan sebagian wilayah yang menurut Undang-undang No. 69 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah - Daerah Tingkat II Dalam
Wilayah Daerah Tingkat I Bali, NTB (Nusa Tenggara Barat) Dan NTT (Nusa Tenggara
Timur)[3].
Pemekaran
atau pembentukan daerah otonom baru temyata tidak serta-merta dapat menciptakan
keadaan lebih baik akan tetapi bagi sebagian daerah masih banyak meninggalkan persoalan
yang berlarut-larut dan bahkan hingga saat ini belum banyak persoalan dapat
diselesaikan.
Konflik
batas wilayah antar Kabupaten/kota dan antar provinsi misalnya, berdasarkan artikel
yang telah dimuat pada Harian Kompas[4]
menyatakan bahwa pada "Tahun 2005 terdapat 148 daerah otonom baru (7
provinsi, 114 Kabupaten, dan 27 kota) yang terbentuk sejak tahun 1999-2004,
Departemen Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap 2 provinsi, 40 Kabupaten,
dan 15 kota. Hasilnya 79 persen daerah baru belum punya batas wilayah yang
jelas. Hal ini menunjukkan bahwa konflik batas wilayah sangat relevan untuk
menjadi bahan kajian bersama terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah sekarang
ini.
Perbatasan
merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu daerah. Perbatasan suatu
daerah mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah administrasi,
pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan
daerah dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum dan
budaya. Dalam konstitusi pembentukan suatu daerah sering dicantumkan pula
penentuan batas wilayah.
B. Identifikasi dan Perumusan
Masalah
Dengan
mengacu pada judul penelitian yaitu "Konflik Batas Wilayah Antara
Kabupaten Manggarai Timur Dengan Kabupaten Ngada dan Upaya Penyelesaiannya Berdasarkan Undang – Undang No.32 Tahun 2004", maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan
diteliti adalah:
a. Bagaimana pola terjadinya konflik batas wilayah di daerah Kabupaten Manggarai Timur Dengan Kabupaten
Ngada.
b. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi munculnya konflik batas
wilayah di daerah.
c. Bagaimana upaya penyelesaian konflik batas wilayah di daerah menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004.
d. Bagaimana upaya penyelesaian konflik batas wilayah di daerah menurut hukum adat setempat.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian adalah target yang ingin dicapai dalam penelitian, baik
sebagai solusi atas masalah yang dihadapi (disebut sebagai tujuan obyektif)
maupun sebagai pemenuhan atas sesuatu yang diharapkan (disebut sebagai tujuan
subyektif). Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan obyektif dalam penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui pola terjadinya
konflik batas wilayah di daerah.
2) Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi munculnya
konflik batas wilayah di daerah.
3) Untuk mengetahui upaya penyelesaian konflik batas wilayah di
daerah berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004.
4) Untuk mengetahui upaya penyelesaian konflik
batas wilayah di daerah berdasarkan hukum adat setempat.
b.
Sedangkan tujuan subyektif adalah untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan
yang diteliti.
D. Manfaat Penelitian.
Manfaat atau
keuntungan yang didapatkan dari suatu penelitian.
a. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan
model-model konflik batas wilayah dan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
konflik serta upaya penyelesaian konflik tersebut.
b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka
cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi pemerintah baik
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam mengatasi konflik batas
wilayah, yang pada gilirannya dapat menjadi solusi dalam penyelesaian konflik
batas wilayah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat
(1) menyebutkan bahwa "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik".
Negara menurut teori modern yang disampaikan Kranenberg
menyatakan bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh
sekelompok manusia yang disebut bangsa. Sedangkan Logeman mengatakan bahwa
negara pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau
menyatukan kelompok manusia yang disebut bangsa.
Dari dua pendapat tersebut negara pada hakekatnya adalah
suatu organisasi kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan tertentu sebagaimana
yang telah disepakati dan ditentukan. Atau dapat dikatakan bahwa mendirikan
suatu negara pada hakekatnya adalah mendirikan dan membentuk organisasi
kekuasaan[5]. Kekuasaan tersebut secara visual dapat dibagi dengan dua
cara yaitu:
1.
Secara
Vertikal; yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatannya dan dalam hal ini
tingkat pemerintahan. Carl J. Frederich memakai istilah pembagian kekuasaan
secara teritorial (teritorial devision of power). Pembagian kekuasaan
ini dengan jelas dapat disaksikan kalau kita bandingkan antara negara kesatuan,
negara federal serta konfederasi.
2.
Secara
Horizontal; yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dan pembagian ini
menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif
dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai Trias Politica pembagian
kekuasaan division of power.[6]
Melihat bentuk-bentuk
negara ditinjau dalam susunannya pada umumnya dalam ilmu negara membaginya ke
dalam 2 (dua) kemungkinan bentuk susunan negara[7], yaitu:
1.
Negara yang
bertujuan jamak, yang disebut Negara Federasi.
2.
Negara yang
bersusunan tunggal, yang disebut Negara Kesatuan.
Negara
Federal secara tepat sulit dirumuskan, oleh karena negara federasi merupakan
bentuk pertengahan antara negara kesatuan dan negara konfederasi. Tetapi
menurut C. F. Stone Prinsip dari negara federal ialah:
Bahwa soal-soal yang
menyangkut negara dalam keseluruhannya diserahkan kepada kekuasaan federal.
Dalam hal-hal tertentu, misalnya mengadakan perjanjian internasional atau
mencetak uang, pemerintah federal bebas dari negara bagian dan dalam bidang itu
pemerintah federal mempunyai kekuasaan yang tertinggi. Tetapi untuk soal-soal
yang menyangkut negara bagian belaka dan yang tidak termasuk kepentingan
nasional, diserahkan kepada kekuasaan negara-negara bagian. Senada dengan C.F.
Strong, K.C. Where dalam bukunya Federal Government, prinsip federal
ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan
pemerintah negara bagian dalam bidangbidang tertentu adalah bebas satu sama
lain. Misalnya dalam soal hubungan luar negeri dan soal mencetak uang,
pemerintah federal sama sekali bebas dari campur tangan dari pemerintah negara
bagian. Sedangkan dalam soal kebudayaan, kesehatan dari pemerintah bagian
biasanya babas dengan tidak ada campur tangan dari pemerintah federal.
Dengan demikian dapat disebutkan bahwa di
dalam Negara Federal kekuasaan dibagi antara Negara Federal (Pemerintah
Pusat) dan (Pemerintah daerah), sehingga masing-masing daerah bebas dari campur
tangan satu sama lainnya dan hubungannya sendiri-sendiri terhadap pusat.
Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan sendiri, demikian juga pemerintah daerah
yang masing - masing mempunyai kekuasaan yang sederajat dari lainnya. Hanya
pada kekuasaan tertentu pemerintah pusat mempunyai kelebihan antara lain dalam
bidang pertahanan, urusan luar negeri, menentukan mata uang dan sebagainya[8].
Perbedaan antara negara federal dengan negara
kesatuan, menurut F. lsjwara adalah dalam negara federal wewenang legislatif
terbagi menjadi dua bagian yaitu antara badan legislatif pusat (federal) dan
badan legislatif dan negara-negara bagian. Sedangkan dalam negara kesatuan
wewenang legislatif berada dalam tangan badan legislatif pusat. Kekuasaan badan
legislatif lokal (bagian) didasarkan atas penentuan dari badan legislatif pusat
dalam bentuk Undang-undang organik.
Menurut Hans Kelsen selain hal tersebut, pembagian antara
negara federal dan negara bagian juga dalam bidang eksekutif dan administratif (In
the federal state it is not only the legislative competence is divided between
the federation and component state,but also the judicial and the administratif
competence).[9]
Negara dapat disebut negara kesatuan apabila kekuasaan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah tidak sama dan tidak sederajat. Kekuasaan
pemerintah pusat adalah kekuasaan tertinggi dan satu negara, demikian juga
badan legislatif pusat dalam membentuk Undang-undang. Kekuasaan pemerintah
daerah bersifat derivative (tidak Iangsung) dan sering dalam bentuk
otonom yang luas, sehingga tidak mengenal pembagian badan legislatif pusat dan
daerah yang sederajat. Negara kesatuan menurut Soehino[10] adalah:
Negara yang tidak tersusun dari beberapa negara melainkan
hanya terdiri dari atas satu negara, sehingga tidak ada negara dalam negara.
Dengan demikian dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan yaitu
pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang
pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan melaksanakan
pemerintahan negara balk pusat maupun di daerah-daerah. Asas-asas yang ada pada
awalnya adalah asas sentralisasi dan konsentrasi, namun perkembangan berikutnya
dianut asas dekonsentrasi dan desentralisasi.
Selain itu
C.F. Strong[11] mengatakan bahwa: the essence of a unite!), state is
that the sovereignty of is undivided, for the words, that the power of the
central government are unrestricted, making body than the central one (ciri
negara kesatuan ialah bahwa kedaulatan tidak terbagi atau dengan kata lain
kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, karena konstitusi negara kesatuan
tidak mengakui adanya badan legislatif pusat).
Sesuai dengan pengertian tersebut maka di dalam
negara kesatuan penyelenggaraan pemerintah negara dapat dibagi menjadi ke dalam
dua bentuk yaitu:
1.
Negara
kesatuan dengan sistim sentralisasi, dimana segala sesuatu diatur Iangsung dan
diurus oleh pemerintah pusat, daerah-daerah hanya tinggal melaksanakannya.
2.
Negara
kesatuan dengan sistim desentralisasi, yaitu kepada daerah diberikan kesempatan
dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi
daerah) yang dinamakan daerah otonomi (swantara).[12]
Seperti telah disebutkan, bahwa pembagian
kekuasaan selain dapat dilakukan secara vertical juga dapat dilakukan
secara horizontal. Pembagian kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah/bagian secara vertical berdasarkan wilayah atau administrasi.
Selain pembagian kekuasaan secara horizontal seperti telah dibahas, juga
terdapat pembagian kekuasaan secara vertical yang berkaitan erat dengan
hubungan pusat dan daerah.
Dengan uraian mengenai negara kesatuan
di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia melalui Undang-undang Dasar telah memilih negara Indonesia berbentuk
negara kesatuan sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) sebagaimana tersebut.
Gerakan reformasi yang telah melahirkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang dianggap sentralistik membawa perubahan
sangat signifikan kepada sistem pemerintahan daerah yang desentralisasi dan
menjadi harapan semua pihak serta diharapkan mampu menjawab persoalan bangsa.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 disambut balk oleh daerah-daerah, karena
telah membuka karena desentralisasi yang selama ini tersumbat oleh sistem yang
sentralistik.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 disambut baik daerah juga karena telah memberi peluang yang sangat
luas untuk mengelola potensi-potensi yang dimiliki daerah, terlebih lagi
diberikannya peluang kepada daerah untuk melakukan pemekaran wilayah
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-undang ini. Pada awal hadirnya
Undang-undang 22 Tahun 1999 pembentukan dan pemekaran wilayah sangat dirasakan
sebagai sesuatu kebutuhan untuk mewujudkan upaya peningkatan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan.
Disamping untuk mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat dan penciptaan rentang kendali yang lebih efektif.
Berdasarkan uraian di atas daerah-daerah
melakukan pemekaran yang diharapkan mampu untuk menjawab persoalan bangsa dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Setelah berjalannya waktu bersamaan
dengan bergulirnya reformasi ternyata Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak
sepenuhnya menjawab permasalahan bangsa ini terutama menyangkut kepentingan
integritas dalam konsep negara kesatuan sebagaimana yang diamanatkan oleh
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada Pasal 1 ayat (1) bahwa
Indonesia berbentuk Negara kesatuan, karena banyaknya konflikkonflik
horizontal maupun vertical yang timbul, balk itu persoalan politik,
ekonomi, etnis, budaya, agama dan yang tak kalah menarik adalah persoalan batas
wilayah.
Perkembangan selanjutnya Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pun berlaku akan tetapi masih juga banyak
kelemahan, hal ini dapat dibuktikan bahwa sejak diundangkanya Undang-undang ini
pada tanggal 15 Oktober 2004 yang lalu hingga saat ini (pada 15 Oktober 2007
genap usianya yang ke 3 tahun) masih menyisakan persoalan batas wilayah yang
belum mampu diselesaikan.
Berdasarkan data yang telah dimuat pada Harian Kompas memuat bahwa pada "Tahun 2005 terdapat 148
daerah otonom baru (7 provinsi, 114 Kabupaten, dan 27 kota) yang terbentuk
sejak tahun 1999-2004, Departemen Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap 2
provinsi, 40 Kabupaten, dan 15 kota. Hasilnya 79 persen daerah baru belum punya
batas wilayah yang jelas."[13]
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
persoalan batas wilayah belum diatur secara tegas sehingga sulit untuk
diselesaikan. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya mengatur mengenai
perubahan batas suatu daerah yang diatur pada Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi
"Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama
bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau pemindahan ibukota yang tidak
mengakibatkan penghapusan suatu daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah".
Pasal 89 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
maupun Pasal 198 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pada menjelaskan bagaimana
cara menyelesaikan perselisihan antar daerah. Hal ini pun sangat ironic sekali
karena persoalan batas wilayah atau sengketa daerah sering timbul akan tetapi
tidak ada aturan yang jelas mengenai penyelesaian perselisihan antar daerah baik
yang diakibatkan oleh masalah batas wilayah maupun faktorfaktor lain yang
menimbulkan perselisihan itu.
Jika dikaji lebih dalam lagi tentang dua
Undang-undang tentang otonomi daerah di atas kedua-duanya memiliki kelemahan
untuk mengatasi persoalan antar daerah balk masalah batas wilayah maupun
persoalan-persoalan lain.
Pada Pasal 89 Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 misalnya, menjelaskan bahwa persoalan perselisihan antar daerah dapat
diselesaikan oleh pemerintah dengan musyawarah dan apabila di antara salah satu
pihak tidak menerima keputusan pemerintah, maka pihak tersebut dapat mengajukan
penyelesaian kepada Mahkamah Agung.
Pasal tersebut di atas memiliki kelemahan
bagaimana tentang penyelesaian di Mahkamah Agung sedangkan aturan tentang
perselisihan antar daerah sendiri tidak ada aturannya yang dapat dijadikan
acuan atau dasar bahwa batas-batas mana yang menjadi perselisihan antar daerah dan
bagaimana daerah itu dikatakan bersalah melanggar ketentuan-ketentuan
perbatasan menurut hukum sebagai dasar bagi hakim untuk penyelesaian
perselisihan antar daerah, demikian halnya apakah tidak akan ada penumpukan
perkara jika semua perselisihan antar daerah diselesaikan di Mahkamah
Agung.
Kelemahan lain pun terdapat pada Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 pada
Pasal 189 yang menjelaskan bahwa penyelesaian perselisihan antar daerah justru
lebih tidak jelas pengaturannya karena yang diatur di dalamnya hanya mengenai
perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar daerah dan bahkan
pada Undang-undang ini menyebutkan perselisihan tingkat Kabupaten dan kota
dalam provinsi diselesaikan oleh Gubernur sedangkan perselisihan antar provinsi
dan antar Kabupaten dengan provinsi lain diselesaikan oleh Menteri Dalam Negeri
dan keputusan tersebut bersifat final.
Hal tersebut di atas memiliki kelemahan
diantaranya terhadap, penyelesaian perselisihan antar daerah yang sangat
kompleks bukan hanya sebatas penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan lalu
terhadap penyelesaian perselisihan antar Kabupaten / kota tidak selesai di
tingkat Gubemur dan kapan dapat dikatakan ada perselisihan antar daerah serta
berapa lama batas untuk menyelesaikan perselisihan antar daerah. Yang lebih
menarik adalah bagaimana jika putusan di masing-masing tingkatan tidak bisa
diterima salah satu pihak atau daerah-daerah yang sedang berselisih.
Dengan beberapa kelemahan di atas ternyata begitu
kompleks persoalan perselisihan antar daerah terlebih menyangkut persoalan batas wilayah antar daerah.
Dengan melihat akibat yang ditimbulkan dari persoalan batas wilayah antar
daerah yang sangat rawan dengan penyelamatan Konsep Negara Kesatuan Republik
Indonesia sehingga perlu adanya norma-norma atau aturan baru yang mengatur
tentang perselisihan antar daerah dan bagaimana penyelesaiannya dalam ketentuan
yang lebih khusus sehingga dapat dijadikan pedoman bagi semua daerah.
Dengan fenomena pengaturan batas wilayah
tentu semakin sulit untuk dapat menyelesaikan persoalan batas wilayah. Dalam
bukunya Soerjono Soekanto mengelompokkan masalah-masalah sosial sebagai berikut
diantaranya adalah masalah kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga,
generasi muda dalam masyarakat modern, peperangan, pelanggaran terhadap normanorma
masyarakat kependudukan, Iingkungan hidup dan birokrasi[14].
Dengan melihat pada persoalan batas
wilayah hubungannya dengan masalah sosial tersebut, yang mencakup persoalanpersoalan
batas wilayah adalah masalah-masalah yang kaitannya dengan kemiskinan,
kejahatan, pelanggaran terhadap norma masyarakat, kependudukan,Iingkungan hidup
dan birokrasi serta masalah-masalah
sosial lain seperti kesenjangan ekonomi, kepntingan politik dan belum adanya
kepastian hukum.
Mengutip artikel Eddy MT. Sianturi dan
Nafsiah bahwa daerah perbatasan merupakan daerah tertinggal (terbelakang)
disebabkan antara lain:
1)
Lokasinya
yang relatif terisolir (terpencil) dengan tingkat aksesibilitas yang rendah.
2)
Rendahnya tingkat
pendidikan dan kesehatan masyarakat.
3)
Rendahnya
tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah
penduduk miskin dan desa tertinggal).
4)
Langkanya
informasi tentang pemerintah dan pembangunan masyarakat di daerah perbatasan (blank
spot).[15]
Dan
sebab-sebab keterbelakangan daerah perbatasan maka kesenjangan sosial ekonomi
masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat daerah tetangga mempengaruhi
watak dan pola hidup masyarakat setempat. Hal itu terjadi karena adanya interaksi
social[16] sehingga dalam penentuan perbatasan sering kali
menghadapi kendala sosial kemasyarakatan daerah perbatasan.
Hal ini
menjadi isu strategic karena penataan kawasan perbatasan terkait dengan proses nation
state building terhadap kemunculan potensi konflik internal di suatu daerah
dan bahkan pula dengan daerah lainnya. Penanganan perbatasan, pada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah
nusantara sebagai satu kesatuan geografi, politik, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan keamanan[17].
Pada umumnya
kondisi daerah perbatasan belum mendapat perhatian secara proporsional,
terbukti kurangnya sarana prasarana yang memadai terlebih daerah pemekaran baru
yang masih rawan konflik batas wilayah. Hal inilah yang menjadi penyebab
terjadinya berbagai permasalahan seperti perubahan batas wilayah, penyelundupan
dan kejahatan-kejahatan lainnya.
Di sisi lain
bagi daerah yang baru dibentuk atau dimekarkan sering kali persoalan batas
wilayah dijadikan sebagai sarana kepentingan politik untuk melakukan mobilisasi
persoalan dengan berbagai argumen dan alasan sehingga cenderung memperkeruh
keadaan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa setiap persoalan batas wilayah sering
disertai dengan masalah-masalah sosial lain yang pada gilirannya masyarakat
yang menjadi korban.
Isu ras atau etnis juga merupakan pemicu adanya
persoalan batas wilayah karena pada dasarnya pada kelompok masyarakat adat akan
selalu mempertahankan nilai-nilai yang hidup dalam kelompok masyarakatnya dan
menjaga eksistensinya sebagai sebuah masyarakat adat yang memiliki wilayah
"ulayat" dan jika diganggu tanah ulayatnya maka mereka juga akan
melakukan perlawanan sehingga terjadi tindakan-tindakan anarkis.
Batas
wilayah memang menjadi salah satu masalah yang penyelesaiannya berlarut-larut
dan bahkan ada dugaan bahwa penyelesaian persoalan batas wilayah dijadikan
"proyek". Terlepas dari semua itu beberapa hal yang menjadi pokok
persoalan batas wilayah diantaranya adalah:
1)
Kaburnya garis perbatasan akibat rusaknya patok-patok di
perbatasan antara kedua daerah diperbatasan.
2) Pengelolaan sumber daya alam belum
terkoordinasi antar daerah sehingga memungkinkan eksploitasi sumber daya alam
yang kurang balk untuk pengembangan daerah dan masyarakat. Misalnya, kasus illegal
logging yang juga terkait dengan kerusakan patok-patok batas yang dilakukan
untuk meraih keuntungan dalam penjualan kayu.
3) Kepastian hukum bagi suatu daerah dalam
operasionalisasi pembangunan di wilayah
perbatasan belum ada.
4) Pengelolaan kawasan lindung lintas daerah
belum terintegrasi dalam program kerja sama antar daerah.
5) Kemiskinan akibat keterisolasian kawasan
menjadi pemicu tingginya keinginan masyarakat setempat menjadi bagian dari
daerah tetangga yang lebih dapat memperbaiki perekonomian masyarakat mengingat
tingkat perekonomian di daerah tetangga lebih menjanjikan.
6) Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah antar
kedua wilayah daerah yang saling bertetangga pemicu
orientasi perekonomian masyarakat.
7) Adanya masalah atau gangguan hubungan antar
daerah yang berbatasan akibat adanya peristiwa-peristiwa baik yang terkait dengan aspek keamanan, politik maupun
pelanggaran dan eksploitasi sumber daya alam yang lintas batas daerah, baik
sumber daya alam darat maupun taut.
Persoalan batas wilayah salah satunya adalah
akibat dari pemekaran wilayah, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pada saat melakukan pemekaran wilayah tidak memperhatikan aspek - aspek yang telah diatur seperti aspek kemampuan ekonomi,
potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk dan luas daerah?
apakah dalam pemekaran wilayah telah didengarkan bagaimana aspirasi masyarakat
di daerah yang dimekarkan?
Masalah perbatasan muncul tidak terlepas dari
perkembangan pembangunan di mana pada daerah perbatasan memiliki
keunggulan-keunggulan sehingga daerah-daerah saling
ketergantungan dengan keunggulan-keunggulan tersebut. Salah satu yang dominan
mempengaruhi masalah batas wilayah adalah aspek ekonomi dan aspek politik
walaupun tidak menutup kemungkinan aspek-aspek lain sebagai pendukung
berkembangnya masalah perbatasan. Masalah perbatasan tentunya sangat diperlukan tindakan preventive,
dengan strategi - strategi yang dapat diterima oleh masyarakat perbatasan dan oleh
pemerintah daerah yang saling berbatasan.
Perbatasan merupakan manifestasi utama
kedaulatan wilayah suatu daerah. Perbatasan suatu daerah mempunyai peranan
penting dalam penentuan batas wilayah administrasi, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan
wilayah. Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian
integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan mempunyai nilai
strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan daerah maupun nasional, hal
tersebut ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan antara lain :
a.
Mempunyai
dampak penting bagi keutuhan wilayah suatu daerah dan negara.
b.
Merupakan
faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat
sekitarnya.
c.
Mempunyai
keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di
wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah maupun antar daerah dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d.
Mempunyai dampak terhadap kondisi keamanan, baik skala
regional maupun nasional.
Secara
hukum belum ada Undang-undang yang mengatur secara pasti bagaimana penyelesaian
sengketa batas wilayah walaupun pada Undang-undang pembentukan suatu daerah
disebutkan bahwa batas-batas mana antar daerah yang baru dibentuk telah diatur,
sehingga dalam penentuan batas wilayah antar daerah menjadi rumit dan terkesan
lambat, karena tidak adanya aturan yang jelas mengenai batas wilayah setingkat
Undang-undang yang diharapkan mampu menjawab persoalan batas wilayah seperti
adanya penolakan warga dan bahkan penolakan pemerintah daerah yang saling berbatasan.
Dengan
berbagai persoalan batas wilayah yang timbul salah satunya yang menonjol adalah
karena adanya pemekaran wilayah, dan pada persoalan batas wilayah mengandung
banyak efek yang ditimbulkan. Hal ini tentu diperlukan perhatian yang khusus
salah satunya dengan melakukan kajian tentang bagaimana untuk penanganan dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan batas wilayah.
Penyelesaian
persoalan batas wilayah antar daerah jika diamati perlu adanya format baru,
dimana dalam karya atau tulisan-tulisan tentang hukum sangat jarang sekali yang
mengkaji tentang bagaimana penyelesaiannya baik dilihat secara yuridis normatif
maupun secara yuridis sosiologis.
Pada
Pasal 89 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 banyak mengandung kelemahan yang akhimya banyak menimbulkan persoalan
perselisihan antar daerah, Iebih khusus dalam tulisan ini menimbulkan persoalan
batas wilayah. Dengan demikian tentu diperlukan produk hukum yang mampu untuk
memberikan jawaban serta mampu mencegah munculnya perselisihan antar daerah.
B. Pembahasan Penelitian
Konflik sebagai situasi pertentangan antar
dua kubu adalah pengalaman hubungan antar manusia yang biasa terjadi
sehari-hari. Ada konflik yang berkaitan dengan kepentingan politik, ekonomi
maupun yang berkaitan dengan kepemilikan atas benda / harta kekayaan seperti
rumah atau tanah. Kita akan coba menelaah lebih mendalam apa kiranya yang
menjadi penyebab terjadinya konflik-konflik pertanahan yang sering terjadi di
wilayah Manggarai. Apa saja hal-hal yang menjadi faktor pemicu sehingga sering
terjadi konflik baik antar pribadi, antar keluarga, antar kelompok masyarakat
atau wara beo / kampung singga menimbulkan kerugian yang luar biasa beratnya,
termasuk kehilangan nyawa.
1.
Penyebab terjadinya konflik.
Dari berbagai kasus konflik pertanahan
yang pernah terjadi dapat ditarik kesimpulan tentang apa yang menjadi faktor
pemicu / penyebab.
1.1. Perebutan batas tanah:
Tanah-tanah lingko (tanah ulayat) yang
telah dibagi biasanya diberikan batas-batas yang disebut langang, berupa
tanaman tertentu atau pagar kayu atau latur (batu yang disusun). Langang atau
batas-batas pemisah ini sering kali digeser oleh salah satu pihak sehingga
menyebabkan penyempitan tanah pada pihak lain, yang akhirnya menimbulkan
konflik bahkan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Demikian pula bila terjadi
perubahan batas-batas atau rahit antara lingko, terutama yang berbatasan dengan
lingko beo lain. Batas-batas yang disepakati, entah pagar, pohon-pohon yang
ditanam atau batas alam seperti sungai, bukit dll. Dapat berubah entah karena
sengaja dipindahkan atau karena faktor alam, seperti peubahan alur sungai
akibat banjir atau faktor alam lainnya. Upaya untk menempatkan kembali pada
posisi awal, seringkali menyebabkan konflik antar beo / kampung. Contoh kasus:
terjadi di hampir di semua tempat.
1.2. Perebutan hak waris.
Antar sesama ahli waris atas tanah pun
sering terjadi perebutan tentang siapa yang palig berhak untuk menjadi pemilik
atas tanah. Konflik seperti ini bisa terjadi antar saudara dalam keluarga, atau
antara panga (sub klan) dengan panga yang lain. Contoh kasus: perebutan tanah
po’ong toro di kampung Bahong, Kecamatan Ruteng, antara Keluarga Raja Ngambut
dengan keluarga Kraeng Manu (ahli waris Kraeng Teok), keduanya sama-sama
turunan orang Todo.
1.3. Pengingkaran terhadap pemberian hak atas tanah ulayat.
Tanah-tanah ulayat yang sudah dbagikan
pada masa lalu, kepada pihak-pihak lain yang bukan berasal dari kalangan tuan
tanah, misalnya para pendatang (ata long), orang yang terikat hubungan
perkawinan (anak wina), atau tokoh-tokoh masyarakat tertentu, digugat kembali haknya
atas tanah oleh turunan tuan tanah dari beberapa generasi kemudian.
Contoh kasus: pertama, konflik antar orang Lao dan orang Dalo, Kecamatan
Ruteng, sehubungan dengan lingko Randong. Kedua, knflik antara orang Dimpong
(Rahong) dengan orang Nggawut (Ndoso).
1.4. Lemahnya penegakan hukum.
Konflik pertanahan, yang tidak menemukan
peyelesaian di tingkat adat atau penyelesaiannya melangkahi adat, pada tingkat
Pengadilan Negeri kadang-kadang diselesaikan secara tidak tepat atau justru
tidak adil, sehingga hanya menambah parahnya konflik. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa instansi penegak hukum kita rawan dengan pemerasan, penyuapan,
sehingga banyak penyelesaian konflik pertanahan di Manggarai yang dapat
berbah-ubah hasilnya, bergantung pada banyaknya uang suap. Contoh kasus:
peristiwa penikaman Hakim oleh salah satu pihak terkait perkara pada Pengadilan
Negeri di Ruteng.
1.5. Penggunaan tanah ulayat tidak sesuai peruntukan.
Dalam satu-dua dekade terakhir, banyak
tanah ulayat yang sebelumnya telah diserahkan kepada Instansi Pemerintah atau
negara atau lembaga-lembaga Swasta digugat kembali oleh ahli waris karena tidak
digunakan sesuai peruntukannya. Tanah yang semula diserahkan masyarakat untuk
kepentingan umum, misalnya lokasi pembangunan kantor-kantor pemerintah,
terminal atau pembangunan jalan raya, ternyata berubah menjadi tanah milik
pribadi, atau membangun usaha pribadi oleh oknum-oknum pemerintah. Contoh
kasus: pertama, pengambilan kembali sebagian tanah di kompleks kecamatan
Ruteng di Cancar oleh orang Weol sebagai ahli waris tanah tersebut. Kedua,
pengambilan kembali sebagian tanah lingko Pinggong oleh orang kampung Cancar
(suku Cepang) yang sebelumnya diserahkan kepada Yayasan SUKMA (Yayasan
Pendidikan Katolik), Keuskupan Ruteng, untuk pengembangan pendidikan masyarakat
Cancar, karena penyalahgunaan sebagian tanah tersebut untuk kepentingan pribadi
beberapa oknum.
1.6. Kelalaian dalam memenuhi kewajiban oleh pihak penerima baik sebagai
individu maupun sebagai Instansi menimbulkan rasa tidak puas atau kecewa pada
ahli waris. Banyak Instansi baik pemerintah maupun Keagamaan seperti keuskupan
di Manggarai, yang terikat kewajban mendirikan mbaru gendang permanen di beo /
kampung para ahli waris, namun lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Contoh
kasus: pertama, orang Nekang menggugat tanah STKIP karena Keuskupan hampir
melupakan kewajiban membantu sebagian pembangunan mbaru gendang di kampung
Nekang. Kedua, orang Kumba / Tenda, menggugat tanah Bandara Satar
Tacik di Ruteng, karena pemerintah Daerah Manggarai melalaikan kewajiban
membayar ganti rugi atas tanah mereka.
2.
Ruang lingkup konflik serta dampak konflik
2.1. Antar individu / ahli waris / keluarga.
Konflik pertanahan yang terjadi antar
individu sebagai ahli waris atau antar keluarga, tentu saja melibat individu
atau keluarga yang terlibat. Bila tidak menemukan penyelesaian yang tepat akan
berlanjut pada suasan permusuhan antar turunan para ahli waris. Tidak jarang
terjadi pembunuhan dalam kanflik seperti ini.
2.2. Antar beo / kampung.
Konflik pertanahan antar beo / kampung
melibatkan warga kampung. Yang sangat menarik untuk diperhatikan dari fenomena
yang terjadi dalam satu dekade terakhir ialah bergabungnya warga dari kampung
lain yang sebenarnya tidak terlibat dalam konflik itu, untuk ikutserta dalam
perang merebut tanah sengketa. Perang-perang antar kampung yang selama ini
terjadi menyebabkan jatuh banyak korban, baik nyawa maupun harta benda. Sistim
bumi hangus seperti yang terjadi dalam konflik antara Dalo vs Lao pasti
meninggalkan pula trauma yang sangat mendalam bagi anak cucu mereka. Hal ini
tidak mustahil akan menimbulkan keinginan balas dendam.Contoh kasus: terjadi
berulang kali perang antara Lao vs Dalo, perang antara Dimpong vs
Nggawut.
2.3. Antar warga beo dengan Instansi Pemerintah / Swasta.
Konflik yang terjadi antar warga beo
dengan Pemerintah atau Instansi swasta dengan sendirinya melibatkan warga beo
dan pemerintah atau lembaga swasta bersangkutan. Konflik ini tidak jarang
mengakibatkan gangguan dan ketdaknyamanan pada lembaga-lembaga
bersangkutan. Contoh kasus: Gugatan terhadap padang gembalaan sapi Seminari
Kisol di Bondei oleh masyarakat Tanah Rata.
C.
Kerangka Konseptual
Konflik Menurut Robbin
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik
dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa
di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi
lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan
konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
1.
Pandangan tradisional
(The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang
buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik
disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik
ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang
kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk
tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2.
Pandangan hubungan
manusia (The Human Relation View. Pandangan ini menyatakan bahwa konflik
dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau
organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena
di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat
antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang
bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain,
konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan
di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3.
Pandangan
interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong
suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu
organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis,
apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan
ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan
sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri,
dan kreatif.
Konflik Menurut Stoner
dan Freeman
Stoner dan Freeman(1989:392) membagi
pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan
pandangan modern (Current View):
1.
Pandangan tradisional.
Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini
disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan
yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik
harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam
merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai
pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2.
Pandangan modern.
Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain
struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya.
Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika
terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik
sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
Konflik Menurut Myers
Selain pandangan menurut Robbin dan
Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu:
tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
1.
Dalam pandangan
tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari.
Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor
penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik
dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik
maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan
menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu
sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut
pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2.
Pandangan kontemporer
mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang
tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang
menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana
menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan
merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di
dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan
harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut,
misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Konflik Menurut
Peneliti Lainnya
1.
Konflik terjadi karena
adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin
mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku
komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik
berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu
proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara
bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada
konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi
juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan,
yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik
tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua
pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara
dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata – kata yang
mengandung amarah.
2.
Konflik tidak
selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif
(Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat
menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi.
Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran
dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran
itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak
terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik
yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.
Batas Wilayah
Dalam
kajian ilmu hukum sangat jarang ditemui literatur-literatur yang menguraikan
tentang batas wilayah terutama batas antar daerah dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Berkaitan dengan judul penelitian ini yaitu “konflik batas
wilayah di era otonomi daerah dan upaya penyelesaian” ini peneliti menganggap perlu
untuk mencari dan menelaah beberapa teori atau kajian yang mengarah pada
persoalan batas wilayah dan penyelesaian konflik batas wilayah.
Sebelum
lebih jauh membahas mengenai batas wilayah tentunya kita harus memaknai batas
wilayah itu sendiri. Batas artinya pemisah dan wilayah[18]
adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsure terkait
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasif dan/atau
aspek fungsional. Sehingga batas wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administrasif dan/atau aspek fungsional.
Batas
wilayah secara umum dapat diartikan sebagai pemisah antara wilayah yang satu
dengan wilayah yang lain dalam suatu tempat tertentu. Menurut Pasal 1 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 menyatakan “batas daerah adalah pemisah
wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah yang lain. Menurut
penulis pengertian ini merupakan pemaknaan yang sangat sempit sehingga belum
mampu memberikan definisi yang dapat digunakan dalam sebuah karya ilmiah, namun
demikian dengan pengertian yang penulis rumuskan dan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 2006 ini mampu memberikan telaah yang setidaknya menjadi
rumusan yang dapat didiskusikan lebih lanjut. Pengertian di atas sengaja
penulis buat mengingat belum ada pengertian ilmiah yang penulis temukan dalam
studi ini dalam rangka mempermudah penulis untuk menelaah lebih jauh mengenai
konsep-konsep
batas wilayah seperti bagaimana menentukan batas wilayah walaupun telah ada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 sebagai dasar penentuan batas
wilayah itu sendiri. Penulis menyadari bahwa ada kemungkinan karena kelemahan
penulis dalam menemukan definisi batas wilayah dalam penelitian ini. Oleh
karenanya apabila telah ada pemaknaan yang lebih dahulu dari definisi yang
penulis buat hendaknya tidak perlu diperdebatkan tentang lebih awal atau lebih
dahulu dan hendaknya menjadi bahan diskusi yang memperkaya khasanah ilmu
mengenai batas wilayah.
Pakar
Geografi Friederich Ratzel mengemukakan bahwa ”kehidupan adalah perjuangan
untuk merebut ruang, semua bangsa harus mempunyai konsepsi ruang yang berisi
gagasan tentang batas-batas suatu wilayah”.
Dengan
menelaah pengertian dan pendapat Friederich Ratzel penelusuran mengenai batas
wilayah ini menjadi penting dan bahkan perlu mendapat perhatian khusus dari
semua pihak. Hal tersebut lebih penting lagi apabila dikaitkan dengan
kedaulatan[19]
wilayah, baik itu wilayah negara maupun daerah-daerah otonom yang saat ini
banyak dipermasalahkan mengenai batas wilayah.
Menurut I
Made Andi Arsana[20]
bahwa secara teknis, aspek yang sangat penting dalam penegasan batas daerah
adalah prinsip geodesi atau surve pemetaan. Hal yang harus diperhatikan dalam
penentuan dan penegasan batas adalah jenis batas yang akan digunakan, teknologi
yang dipilih terkait kualitas hasil yang diharapkan, serta partisipasi
masyarakat yang secara langsung akan terkena dampak akibat adanya penegasan
batas tersebut. Untuk darat, misalnya, batas bisa ditentukan dengan unsur alam
(sungai, watershed, dan danau) dan unsur buatan (jalan, rel kereta, saluran
irigasi, dan pilar batas). Penggunaan unsur-unsur alam akan mengakibatkan batas
menjadi dinamis akibat perubahan bentang alam. Penentuan dengan satelit,
terkait dengan ketelitian koordinat titik batas, Permendagri juga sudah
memberikan spesifikasi yang rinci. Ketelitian ini tentunya terkait dengan
teknologi dan metode penentuan posisi yang digunakan. Penentuan posisi dengan Global
Positioning System (GPS), yaitu penentuan posisi dengan satelit, adalah
salah satu yang direkomendasikan. Namun, penggunaan GPS sendiri harus
memperhatikan jenis dan metode pengukurannya untuk mendapatkan posisi dengan
ketelitian yang disyaratkan.
Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah,
mengatur bahwa dalam penegasan batas daerah dapat diwujudkan dengan a.
penelitian dokumen; b. pelacakan batas; c. pemasangan pilar batas; d. pengukuran
dan penentuan posisi pilar batas; dan e. pembuatan peta batas; serta f. khusus
penegasan batas daerah di laut juga dilakukan penentuan titik awal dan garis
dasar. Penegasan batas daerah ini dilakukan dengan prinsip geodesi dan
dituangkan dalam berita acara kesepakatan. Dalam penelitian dokumen mempedomani
Undangundang tentang pembentukan daerah dan dokumen yang disepakati oleh
daerah yang bersangkutan. Penegasan batas daerah dilakukan oleh Tim Penegasan
Batas Daerah (TPBD), yang terdiri dari TPBD Tingkat Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
Dalam
lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah, penegasan batas daerah dapat dinyatakan :
a.
Dalam bentuk bangunan fisik buatan manusia yang berupa; pilar, gapura, persil
tanah, jalan dan atau batas alam seperti warshed, sungai; dan
b.
yang tidak dapat ditegaskan dalam suatu bentuk bangunan fisik berupa; danau dan
tengah sungai dinyatakan dengan pilar acuan batas.
Jika
dasar hukum untuk penegasan batas daerah belum ada atau belum jelas dapat
dilakukan dengan penggunaan bentuk-bentuk batas alam seperti Sungai, Watershed
garis pemisah air, Danau; dan dengan menggunakan bentuk-bentuk batas buatan
seperti Jalan, Rel Kereta Api, Saluran Irigasi.
Keputusan
penegasan batas daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun
2006 Pasal 19 menyatakan “Keputusan penegasan batas daerah ditetapkan oleh
Menteri Dalam Negeri”.
Wilayah
perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan
nasional yang antara lain ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan yang ada
didalamnya yaitu diperlukan adanya keseimbangan antara faktor peningkatan
kesejahteraan (prosperity factor) dan faktor keamanan (security
factor).
Pembinaan
masyarakat perbatasan termarjinalkan.Rendahnya
tingkat sumber daya manusia, pendidikan dan kemiskinan masyarakat di wilayah
perbatasan menjadi hambatan dalam meningkatkan peran masyarakat dalam
pembangunan wilayah perbatasan.
Dengan
ditetapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagai revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai
revisi terhadap Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 dan Menteri Dalam Negeri telah
mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2006 (selanjutnya disebut Permendagri)
tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. telah memberikan payung hukum yang
lebih jelas kepada Pemerintah Daerah untuk menyelesaikan masalah batas wilayah
dan mendayagunakan potensi wilayah di daerah utamanya di daerah perbatasan.
Upaya
Suatu tindakan, usaha, ikhtiar, mencari cara, mencari
jalan yang dilakukan secara serius serta
sungguh – sungguh dengan menggunakan seluruh pikiran, waktu, tenaga dan biaya
untuk menyelesaikan sesuatu.
Penyelesaian
Tindakan
pengaturan, atau keadaan yang menetap. Tindakan penempatan penduduk, atau
keadaan yang dihuni; tindakan penanaman, sebagai sebuah koloni; kolonisasi;
pendudukan oleh pemukim, seperti, penyelesaian sebuah negara baru.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A. Jenis
Penelitian
Dalam penelitian tentang Konflik Batas
Wilayah di Daerah ini digunakan jenis penelitian hukum normatif dan empiris.
Maksudnya dengan cara menelaah dari aspek normatif dan menggali aspek empiris
langsung di tingkat masyarakat.
B. Pendekatan Penelitian
Permasalahan
pokok dalam penelitian ini adalah konflik batas wilayah di daerah dan upaya
penyelesaiannya, sehingga akan melihat
2 (dua) entitas penting yaitu tidak saja memandang hukum dalam arti peraturan perundang-undangan
semata tetapi lebih dari itu adalah memandang hukum dalam arti
realitas sosial. Oleh sebab itu akan membawa konsekuensi pada penggunaan
pendekatan yaitu pendekatan yuridis sosiologis.
Pendekatan yuridis dimaksudkan untuk menggali dan mengkaji
peraturan perundang-undangan sebagai dasar berpijak dalam meneliti sedangkan
pendekatan sosiologis ini dimaksudkan untuk menggali faktor-faktor di balik
fenomena-fenomena yang muncul dalam konflik batas wilayah.
C.
Jenis dan
Sumber Data
Penelitian
ini dibutuhkan 2 (dua) jenis data, yaitu data primer dan data sekunder.
Penelitian ini juga berusaha menggali data primer dan data sekunder secara
sekaligus dengan harapan keduanya saling mendukung.
Data yang diambil dan telaah pustaka berasal dan bahanbahan
hukum primer berupa peraturan-peraturan perundangundangan yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti baik dalam bentuk Undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan menteri dan lain-lain. Bahan-bahan sekunder, yaitu berupa
buku-buku, makalah atau jurnal-jurnal, bahan-bahan tulisan Iainnya yang ada
kaitannya dengan masalah yang diteliti. Data yang diambil dari studi dokumen
berupa dokumen-dokumen yang menunjukkan atau dianggap ada kaitannya dengan
konflik batas wilayah. Data yang selanjutnya diambil dari penelitian lapangan sebagai rangkaian
dalam penelitian untuk menemukan fakta-fakta di lapangan baik dalam bentuk data
primer maupun data sekunder.
D.
Metode Penelusuran Data
Menurut
Ronny Hanitijo Soemitro, dalam bukunya Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,
teknik pengumpulan data dalam suatu penelitian dapat dilakukan melalui 4
(empat) cara, yaitu (a) Studi Kepustakaan, (b) Observasi, (c) Interview, dan
(d) Kuesioner.
Dalam rangka pengumpulan data primer ditempuh dengan
menggunakan 2 (due) teknik yaitu 1) wawancara mendalam (depth interview); dan
2) teknik observasi partisipasi (participant observation). Sebelum
dilakukan pengumpulan data dengan dua teknik tersebut, terlebih dahulu
dilakukan apa yang oleh Spradly dipakai sebagai penciptaan rapport untuk
meminimalisir transfer peneliti dengan para responden penelitian dan sekaligus
menjajaki fisibilitas untuk dapat bekerja sama.
Hal ini
menjadi sangat panting karena responden dalam memberikan informasi belum tentu
dapat memberikan apa adanya secara natural, karena kemungkinan terdapat hal-hal
yang sifatnya sensitif untuk diungkapkan.
Melalui teknik wawancara akan digali selengkap - lengkapnya tidak hanya tentang apa yang diketahui, apa yang dialami
informan dan responden penelitian, tetapi juga apa yang ada di balik pandangan,
pendapat dan atas perilaku yang terobservasi. Oleh sebab itu alat-alat bantu
wawancara disiapkan secara maksimal. Sedangkan teknik observasi partisipasi
dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang tidak dapat diperoleh meialui wawancara
seperti situasi, sikap atau aktivitas-aktivitas dalam struktur sosial dalam
rangka bekerjanya lembaga pembentuk hukum, untuk itu observasi dilakukan dari
hal yang paling umum hingga terfokus pada hal-hal yang paling khusus.
Sedangkan
untuk pengumpulan data sekunder ditempuh dengan penelitian kepustakaan (studi
Pustaka) dan studi dokumen.
E.
Spesifikasi
Penelitian
Penelitian
ini bersifat deskriptif analitis yaitu menyajikan gambaran tentang konflik
batas wilayah di daerah dan upaya penyelesaiannya dan menganalisis permasalahan
tersebut secara cermat dan objektif guna menemukan faktor-faktor penyebabnya
dan bagaimana penyelesaian persoalan tersebut.
F. Metode Penentuan Sample
Populasi dalam penelitian ini adalah para
pejabat pemerintahan dan tokoh masyarakat yang ada relevansi dengan masalah
yang diteliti, dengan menggunakan tehnik purposive sampling yaitu dengan
menentukan kriterianya terlebih dahulu untuk dijadikan sebagai sampel. Hal ini
didasarkan pada kriteria bahwa sampel yang akan dipilih karena tugas, jabatan
dan kedudukan.
G. Teknik Analisa Data
Analisa data penelitian ini dengan
menggunakan metode kualitatif, cara ini dilakukan untuk memenuhi kecukupan
data, mengantisipasi resiko bias karena obyek penelitian non random.
Data yang dikumpulkan dengan cara observasi
dan interview yang mendalam dari sumber data yang sesuai dengan level
pendekatannya. Data dari sampel pertama langsung dianalisis dengan mencoba
mencari penjelasan secara komprehensif terhadap aktifitas yang terjadi dalam
penyelesaian konflik batas wilayah di daerah.
H.
Jadwal
Penelitian
KEGIATAN
|
MINGGU
|
|||
I
|
II
|
III
|
IV
|
|
1. Tahap persiapan
a. Review proposal
b. Perbaikan proposal
c. Pengesahan
d. Pengesahan ijin
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pengumpulan data kepustakaan
b. Pengumpulan data lapangan
c. Pengolahan dan analisa data
3. Tahap laporan Hasil Penelitian
4. Tahap Penulisan tesis
|
X
-x
--x
---x
|
Xx
-xx
|
Xx
--xx
|
xxxx
|
LEMBAR PENGESAHAN
Proposal Tesis
Pada Tanggal: Februari 2012
Oleh:
Kornelis Wiriyawan Gatu, S.Sos
NPK. 10.82.0022
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Supriyadi, SH, MH Eduardus Marius
Bo, SH, MS
[2] Sidik Pramono dan Susie Berindra,
“Pemekaran Tak Lagi Jadi “Obat” Mujarab”, Kompas Edisi Rabu 30 Agustus 2006
(Politik & Hukum), Jakarta hal. 5
[3] Undang-undang No.69 Tahun 1958 tentang Pembentukan daerah – daerah tingkat II dalam wilayah dalam wilayah Daerah
Tingkat I Bali – NTB dan NTT.
[5] Sri Sumantri dan Bintan R Saragih, Ketatanegaraan Indonesia dalam
Kehidupan Politik Indonesia (30 tahun kembali ke undang undang dasar
1945), Jakarta Pustaka Sinar Harapan. 1993. Hal. 4.
[7] mtsalnya baca buku Soehino, ilmu Negara Liberty,
Yogyakarta, 2000. Hal. 224. Meriam Budiardjo, Op.Cit,
Hal. 141.
[12] Yosep Riwukaho, Otonomi yang Titik
Beratnya di Letakkan Pada Daerah TK II, UGM Yogyakarta, 1980. Hal. 2.
[14] Soerjono
Soekanto, Sosiologi, suatu
pengantar, PT. RajaGrfindo Persada, Jakarta. 2003. Hal. 365-391.
[15] Eddy MT Sianturi, dan Nafsiah, SP.
"Strategi Pengembangan Perbatasan Wilayah Kedaulaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia". e-mail: buletinlitbang(cl/dephan.go.id 2006
[17] Hari Sabarno, "Kebijakan/Strategi Penataan Batas dan Pengembangan
Wilayah Perbatasan", http // www .depdagri.go.id. 2001
[19] misalnya dalam buku Mahfud MD, Dasar dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 67 yang
menyatakan “Kedaulatan adalah terjemahan dari kata “Souvereiniteit” yang
berasal dari kata supernur atau superanitas yang berarti kekuasaan yang
tertinggi di dalam suatu wilayah”.
[20] I Made Andi Arsana, Op.Cit. hal -