GERAKAN
KOMUNIKASI KELUARGA BESAR
MOSALAKI ‘KOE KOLU’ HEBESANI
BALAI
RUMAH ADAT TANI PAGA LISE NGGONDERIA
Jln.
Raya Tani Senda No.2 Watuneso Wawo Kel.Watuneso
Kec.Lio Timur Ende – NTT – Indonesia
Nomor : 02 / Prot./GKKB
- MOSKOSANI / XII / 2011
Lamp. : -
Perihal : Protest dan Kecaman
Kepada
Yth. Bapak Kapolres Ende
Di
Ende
Dengan
hormat,
Kami sampaikan Puji Syukur atas Karunia yang telah diberikan
kepada kita sekalian dihari – hari sebelumnya dan atas nama Keluarga Besar
melalui ruang komunikasi perdana lewat surat ini, kami pantas sampaikan
profisiat atas kiprah sukses dari institusi yang bapak pimpin dan semoga
kedepan dapat ditingkatkan lebih baik lagi.
Bapak Kapolres Ende yang kami hormati, untuk meningkatkan
relasi antara masyarakat kami dengan institusi yang bapak pimpin,maka
dibutuhkan komunikasi yang efektif, efisien dan lebih bersifat rutin dan surat
perdana ini bermaksud menyampaikan sebuah hal yang telah terjadi pada
masyarakat kami di Watuneso Kecamatan Lio Timur Kabupaten Ende yang tentunya
akan menghambat niat baik tersebut. Masyarakat yang kami maksudkan adalah
masyarakat hukum adat yang mendiami wilayah hukum adat Mosalaki Koe Kolu
Hebesani Lise Nggonderia Kecamatan Lio Timur yang selanjutnya dapat juga
disebut sebagai masyarakat bangsa Indonesia.
Realitas persoalan itulah kemudian memaksa kami untuk buka
suara sekalipun kehadiran surat ini dipandang kurang etis. Namun, biarkan
ketulusan atas keterbukaan hati kamilah yang menjadi saksi akan fakta yang
telah dialami.
Demikianlah kronologis peristiwanya:
Ø Kurang lebih 2 Minggu lalu, ada
salah seorang warga masyarakat di Kampung Jembatan Besi Kecamatan Lio Timur
yang diduga bernama Kanisius Woda bersama
istrinya diyakini bernama Vina telah
dengan sadar dan sengaja dimuka umum melakukan percobaan perampasan tanah
ulayat adat Mosalaki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia Kecamatan Lio Timur
tepatnya di Kampung Ase yang dulunya bernama Kampung Hubu Rasi dan tentunya secara turun temurun yang bersangkutan tahu
bukan milik pribadinya melainkan milik Masyarakat Adat setempat dan selanjutnya
dibawah kuasa pengawasan Mosalaki selaku Kepala Adat sebagaimana dimaksudkan pada
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada pemerintah
sebagai penyelenggara negara untuk dapat mengelola bumi, air dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya dengan sebaik-baiknya untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Yang dimaksud dengan rakyat adalah seluruh penduduk Indonesia termasuk
di dalamnya masyarakat adat.
Dan selanjutnya dalam Pasal 18B ayat
(2) (Amandemen kedua) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Dan juga pada
Pasal 28i ayat (3) (Amandemen Kedua) menyebutkan bahwa “Identitas budaya dan
hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.”
Hak ulayat adalah hak masyarakat
hukum adat terhadap tanah dan perairan serta isinya yang ada di wilayahnya
berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanah dan perairan serta lingkungan wilayahnya di bawah pimpinan kepala adat.
Dalam hal
ini, tentunya eksistensi hak ulayat harus melihat pada tiga hal yaitu:
1.
Adanya
masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu tentang subyek hak
ulayat.
2. Adanya tanah / wilayah dengan batas-batas
tertentu sebagai Lebensraum yang merupakan obyek hak ulayat.
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum
adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Ø Perwakilan masyarakat Adat yang
mendiami kampung Ase atau Hubu Rasi yang
kemudian diketahui bernama Sdra. Dosi,
karena menyadari fungsinya sebagai aji
ana ( anggota keluarga ) Mosalaki dan karena merasa bahwa kewibawaan Mosalaki
sebagai pimpinan Adat dilecehkan, tidak dihargai serta tidak diberitahu atas
tindakan sewenang – wenang dan diduga kuat bermaksud merampok sebidang tanah
ulayat Adat yang dilakukan oleh terduga
Sdra. Kanisius Woda maka, Sdra. Dosi kemudian memberitahukan peristiwa ini
kepada Mosalaki Hebesani di Rumah Adat.
Ø Menyikapi Pemberitahuan Sdra. Dosi, Mosalaki kemudian memanggil
sejumlah tokoh Adat yang memiliki hubungan dengan status tinggal dan garap atas
tanah Adat dimaksud untuk melakukan penyelesaian secara kekeluargaan
sebagaimana mestinya. Tokoh yang dihadirkan dalam forum Adat tersebut adalah
dari sejumlah Kepala Suku di wilayah Hukum Adat Mosalaki Koe Kolu Hebesani.
Kesepakatan yang dicapai adalah Mosalaki selaku pimpinan Adat melakukan
penegasan dari patokan batas sesuai keadaan sebelum sengketa terjadi.
Ø Sdra. Dosi, menyampaikan kepada institusi Polsek Lio Timur agar mengawasi
dan mengantisipasi kemungkinan merebaknya konflik horizontal di Tempat Kejadian
Perkara ( locus delicti ) sementara Yang
Terhormat Kapolsek Lio Timur tidak berada ditempat. Yang Terhormat Kapolsek Lio
Timur disinyalir sedang berada di luar wilayah hukumnya untuk beberapa hari.
Ø Sejumlah anggota Keluarga Besar
bersama Mosalaki selaku pimpinan Adat turun ke lokasi tepatnya di Kampung Ase atau
dapat disebut juga dengan Kampung Hubu Rasi guna melakukan patok ulang tapal
batas. Patokan yang dipatok Mosalaki coba dicabut kembali oleh sejumlah
perempuan yang diduga dipimpin oleh Sdri.
Vina yang diyakini sebagai isteri sah dari Sdra. Kanisius Woda. Tindakan itu kemudian membakar kemarahan
anggota Keluarga Besar Mosalaki Hebesani karena dianggap melecehkan Kepala
Adat. Potensi konflik semakin nyata dan suasana pun tegang namun 4 ( empat ) oknum Polisi dari Polsek Lio
Timur yang saat itu berada di lokasi kejadian hanya terdiam tanpa tindakan apa-apa dan ini tentunya bertentangan
dengan Etika Profesi Polri Dalam Hubungan dengan Masyarakat Pasal; 10 Ayat; 1
point, f yang berbunyi; Melakukan
tindakan pertama Kepolisian sebagaimana yang diwajibkan dalam tugas kepolisian
, baik sedang bertugas maupun di luar dinas. Tergambar jelas, peristiwa ini
syarat scenario jebakan.
Ø Tindakan diam sejumlah oknum Polisi
pada sengketa tanah ulayat adat ini memperparah suasana karena dianggap tidak
netral dan Ketidakberadaan Yang Terhormat Kapolsek Lio Timur untuk
beberapa hari itu, memicu kecurigaan Masyarakat Hukum Adat dan banyak pihak
bahwa Yang Terhormat Kapolsek diduga hendak cuci tangan dari kasus tersebut.
Ø Selanjutnya, sekelompok masyarakat anggota
Keluarga Besar Mosalaki turun kembali ke
lokasi untuk menanam sejumlah jenis tanaman termasuk di dalamnya Pohon Kelapa.
Dari 2 kubu bersengketa akhirnya bertemu di lokasi sengketa. Aksi tanam
sejumlah jenis tanaman dilakukan dan berjalan ‘in emergency situation’. Saat itu sejumlah oknum Polisi berada di
lokasi kejadian. Tindakan yang dilakukan adalah, melakukan penyitaan terhadap
semua parang yang dibawah oleh Kelompok anggota Keluarga Besar Adat namun
membiarkan atau tidak melakukan penyitaan terhadap sejumlah Parang milik
kelompok lawan.
Hal ini
aneh dan dianggap provokatif yang kemudian memperkuat kecurigaan banyak
masyarakat dengan menimbulkan pertanyaan besar; Apakah institusi Polsek Lio
Timur independen dalam menangani kasus tersebut? Ataukah sebaliknya terlibat
dibalik scenario untuk menghancurkan kekuasaan ulayat adat pada wilayah hukum adat
setempat?
Ø Salah satu anggota Keluarga Besar
Adat memeriksa lokasi kejadian dan ditemukan tanaman anakan Pohon Kelapa yang
ditanam sehari sebelumnya telah dibabat hingga hancur. Peristiwa ini kemudian
dilaporkan Kepada Polsek Lio Timur bersama barang buktinya.
Ø Penyidik pada Polsek Lio Timur sama
sekali tidak melakukan tindakan penyelidikan lapangan dan memanggil sejumlah
pihak yang dicurigai sebagai langkah hukum untuk memproses laporan yang telah
di buat Berita Acara Pemeriksaan dan beralasan bahwa Yang Terhormat Kapolsek
belum berada ditempat sehingga belum dapat ditindaklanjuti. Ini justeru
bertentangan dengan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana.
Ø Penyidik pada Polsek Lio Timur
melayangkan surat panggilan pertama kepada Sdra.
Richardus Ratu sebagai pelapor agar menghadap Penyidik pada hari / tanggal;
Selasa, 29 November 2011.
Ø Tanpa didampingi Mosalaki selaku Kepala Adat, Hari
/ tgl; Selasa, 29 November 2011 Pukul; 08.00 wita ratusan orang dari anggota
Keluarga Besar mendatangi Kantor Polsek Lio Timur dan dikonfrontasi dengan
kelompok lawan serta sejumlah pihak yang sebenarnya tidak memiliki sangkut paut
terkait kasus ini dan akhirnya atas pra karsa Anggota Polsek Lio Timur bernama Martin Gowing dialog yang membedah
sengketa tanah ulayat adat berjalan. Lucunya, kasus yang dilaporkan oleh
Richardus Ratu adalah tentang Pembabatan tanaman pohon Kelapa tapi, yang
dibicarakan dalam forum di Kantor Polsek Lio Timur itu malah sejarah tanah
adat. Apa kepentingan penyidik terhadap sejarah tanah setempat? Bukankah
sejarah tanah adat hanya dapat dibicarakan di Rumah Adat atau di muka Hakim
jika diminta untuk kepentingan proses hukum selama persidangan?
Penyidik
dan seluruh anggota Kepolisian pada Polsek Lio Timur bersama pimpinannya
hendaknya bisa membedakan antara sifat atau jenis kasus, laporan dan yang mana semestinya
diusut. Jika demikian, tidaklah berbeda antara’ sakit diperut, justeru kepala
yang diobati’
Belum
lagi, disaat perdebatan dari ke-2 kelompok berbeda sedang memanas, dan
disaksikan banyak orang, tiba - tiba muncul pernyataan ancaman terlontar dari
mulut anggota Polsek Lio Timur Martinus
Pora yang bernada provokatif dan membakar emosi anggota Keluarga Besar
begini; Kenapa ame Mosalaki tidak datang? Jika 2 kali dipanggil tidak datang
maka, biar Mosalaki saya tangkap..!!
Pernyataan itu membangkitkan reaksi kekecewaan kami sebagai anggota
Keluarga Besar Mosalaki kepada institusi Polsek Lio Timur. Dan Selaku Ketua
Umum Gerakan Komunikasi Keluarga Besar Mosalaki ‘Koe Kolu’ Hebesani Lise
Nggonderia pada wilayah hukum adat ini, saya; Kornelis Wiriyawan Gatu, putera
kandung turunan lurus dari Martinus Banda (
alm.), bermarkas pada Rumah Adat Tani Paga wilayah hukum adat Lise
Nggonderia dan yang saat ini sedang menempuh studi Sarjana Strata – 2 Magister
Ilmu Hukum pada salah satu Perguruan Tinggi di Jawa Timur bermaksud menanyakan
kepada saudara Martinus Pora dan institusi
Polsek Lio Timur sebagai berikut;
1.
Apa
dasar hukum yang Sdra. Martinus Pora, anggota Polisi dan institusi pada Polsek
Lio Timur pakai untuk menangkap Mosalaki selaku pimpinan masyarakat adat kami?
2.
Apa motivasi Sdra. Martinus Pora, anggota
Polisi dan institusi pada Polsek Lio Timur dalam sengketa tanah ulayat adat
ini?
3.
Mengertikah Sdra. Martinus Pora, anggota
Polisi dan institusi pada Polsek Lio Timur akan maksud dari Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat dengan segala kriterianya sebagaimana maksud yang terkandung pada;
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya, Pasal 28i ayat (3)
(Amandemen Kedua) dan
Pasal 18B ayat (2) (Amandemen kedua) serta Peraturan Menteri Negara Agraria /
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat?
4.
Adakah niat Sdra. Martinus Pora, anggota
Polisi dan institusi pada Polsek Lio Timur untuk menghancurkan kekuasaan Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat setempat dengan cara memprovokasi dan akhirnya
berdampak pada konflik yang selanjutnya saudara - saudara menjadi penguasa baru
di Wilayah Hukum Adat kami?
5.
Apakah saudara – saudara sekalian yang
bertugas pada Wilayah Hukum Adat kami baik dalam kapasitas anggota maupun
pimpinan pada Polsek Lio Timur memiliki hati yang ikhlas, jujur, tulus, adil
dan telah berupaya membangun hubungan komunikasi yang sehat, efektif dengan
masyarakat pada wilayah hukum adat kami demi menjaga martabat serta citra institusi
Kepolisian secara umum?
6.
Ingat..!! Jangan Ada Dusta Diantara
Kita..!!Polisi dan Masyarakat, jangan seperti Kucing dan Tikus.
7.
Tahukah saudara - saudara, dengan kejadian
tersebut, Sdra. Richardus Ratu kemudian menyatakan mencabut laporannya saat itu
juga. Dan melalui fakta peristiwa ini, kami sepantasnya menilai bahwa institusi
Polsek Lio Timur sudah tidak dipercayai lagi independensinya
Bapak
Kapolres Ende yang kami hormati !
Maaf beribu
maaf ! Pada prinsipnya, dari hati nurani yang terdalam, kami tidak bermaksud
mengecam keras peristiwa ancaman terhadap pimpinan adat kami dalam kaitan
penyelesaian sengketa tanah ulayat adat dimaksud. Ini hanya suara yang coba
kami sampaikan dengan keberanian luar biasa dan baiklah menjadi potret
perhatian bersama.
Sejumlah
argumentasi kami diatas, sesungguhnya menunjukan bahwa kami selaku masyarakat
pada Wilayah Hukum Adat Mosalaki ‘Koe
Kolu’ Hebesani Lise Nggonderia Lio Timur sangat kecewa terhadap oknum Polisi
tertentu. Lewat dialog ini, kami mengharapkan agar peristiwa yang bersifat
mengancam serta men-diskreditkan masyarakat serta pimpinan adat kami tidak
terulang lagi.
Atas
pengertian dan kerjasama yang baik dari bapak Kapolres, kami representasi dari
segenap anggota Keluarga Besar Mosalaki ‘Koe Kolu’ Hebesani Lise Nggonderia Lio
Timur menyampaikan terima kasih.
Watuneso -
Lio Timur,
Ende, 2
Desember 2011
Hormat kami,
Gerakan Komunikasi Keluarga Besar Mosalaki ‘Koe Kolu’ Hebesani
Lise Nggonderia Lio Timur
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
ttd ttd
Kornelis Wiriyawan Gatu Aleks
Promari
Tembusan
disampaikan kepada:
-
Yth. Mosalaki ‘Koe Kolu’
Hebesani Lise Nggonderia di Lio Timur
-
Yth. Kapolsek Lio Timur di
Watuneso
-
Yth. Para Kepala Suku di
wilayah Hukum Adat Mosalaki ‘Koe Kolu’ Hebesani
-
Yth. Bupati Ende di Ende
-
Yth. Ketua DPRD Ende di Ende
-
Yth. Kepala Badan
Kesbangpollinmas Kab.Ende di Ende
-
Yth. Kapolda NTT di Kupang
-
Yth. Gubernur NTT di Kupang
-
Yth. Ketua DPRD NTT di
Kupang
-
Yang Mulia Sri Sultan
Hamengkubuwono ke-X di Yogyakarta
-
Yth. Pimpinan Ombudsman RI
di Jakarta
-
Yth. Pimpinan Indonesian
Police Watch di Jakarta
-
Yth. Menteri Agraria /
Kepala Badan Pertanahan Nasional di Jakarta
-
Yth. Menteri Dalam Negeri RI
di Jakarta
-
Yth. Komite Etik Kepolisian
RI di Jakarta
-
Yth. Kepala Kepolisian RI di
Jakarta
-
Yth. Presiden Republik
Indonesia di Jakarta
-
Arsip.
Etika Profesi Polri Dalam Hubungan
Dengan Masyarakat
Pasal 10
- Dalam etika hubungan dengan masyarakat anggota Polri wajib :
a. Menghormati harkat
dan martabat manusia melalui penghargaan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.
b. Menjujung tinggi
prinsip kebebasan dan kesamaan bagi semua warga negara.
c. Menghindarkan diri
dari perbuatan tercela dan menjunjung tinggi nilai kejujuran , keadilan dan
kebenaran demi pelayanan pada masyarakat.
d. Menegakkan hukum
demi menciptakan tertib sosial serta rasa aman publik.
e. Meningkatkan mutu
pelayanan pada masyarakat .
f. Melakukan tindakan
pertama kepolisian sebagaimana yang yang diwajibkan dalam tugas kepolisian ,
baik sedang bertugas maupun di luar dinas.
2. Anggota Polri
Wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela yang dapat merusak
kehormatan profesi dari organisasinya serta menjungjung tinggi nilai kejujuran
, keadilan dan kebenaran demi pelayanan pada masyarakat sebagaimana di maksud
pada ayat (1) huruf c, dengan senantiasa :
a. Memberikan
keterangan yang benar dan tidak menyesatkan .
b. Tidak melakukan
pertemuan di luar pemeriksaan dengan pihak - pihak yang terkait perkara.
c. Bersikap ikhlas
dan ramah menjawab pertanyaan tentang perkembangan penanganan perkara yang di
tanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud,
sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesainnya .
d. Tidak boleh
menolak permintaan pertolongan / bantuan dari masyarakat dengan alasan bukan
wilayah hukumnya.
e. Tidak mencari -
cari kesalahan masyarakat.
f. Tidak menyebarkan
berita yang dapat meresahkan masyarakat.
g. Tidak
mengeluarkan ucapan atau isyarat yang bertujuan untuk mendapatkan imbalan atas
pelayanan yang di berikan kepada masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar